Jumat, 02 Desember 2016

Kondisi Perekonomian di Indonesia beserta dengan studi kasus



  1. KONDISI KOPERASI DI INDONESIA
Peran koperasi dalam perekonomian nasional semakin tak terdengar gaungnya. Hal ini di karenakan, koperasi yang identik dengan kalimat soko guru perekonomian nasional nyatanya tak mampu memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Koperasi yang masih aktif pun tidak sedikit yang pada praktiknya melenceng dari tujuan utama, yakni meningkatkan kesejahteraan anggota. Menurut Guru Besar Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Prof. Dr. H. RM Ramudi Arifin, SE, MSi, saat ini banyak koperasi yang pada praktiknya beroperasi dengan paradigmaa perusahaan. Mereka sibuk memupuk pendapatan, keuntungan dan Sisa Hasil Usaha (SHU).  Nyatanya berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan selama bertahun-tahun, koperasi yang berhasil memupuk SHU besar, memiliki banyak asset, modal kuat, menjadi perusahaan besar, juga mendapat predikat terbaik, belum tentu mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Selama ini masalah perubahan paradigma tidak pernah menjadi isu sentral. Padahal, orientasi koperasi ke ranah kapitalis seperti yang saat ini bergulir sangat berbahaya. Saat ini saja, koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional hanya tinggal sebatas jargon. Tanamkan paradigma bahwa koperasi besar bukan karena SHU atau asset melainkan kesejahteraan anggota. Perubahan paradigma tersebut harus dilakukan menyeluruh dan terintegrasi sinergis. Eksistensi koperasi jangan sekadar menjadi perwujudan konstitusi. Lebih dari itu, keberadaan koperasi harus dilihat sebagai kebutuhan. Melencengnya paradigma sebenarnya salah satu dari beragam permasalahan yang mencengkram dunia koperasi dewasa ini. Dalam prakteknya masih banyak masalah melilit sektor perkoperasian khususnya terkait daya saing yang kian melemah.
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi. Teknologi informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi. Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism.
Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hampir seluruh sistem perekonomian Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari ”inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi. Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Yang dapat dianalisa bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme.
Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian pendiri koperasi untuk menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?
Banyak sudah program-program pengembangan koperasi yang dinilai sangat baik. Koperasi juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari akademis (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional.
Pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat Indonesia dewasa ini.
Masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham liberal lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung menegaskan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi) cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara. Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci, ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state” adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi sosial yang hakiki.
Sampai pada tahun 2014 tercatat bahwa hanya terdapat sekitar 70% dari total koperasi di Indonesia yang masih aktif menjalankan kegiatannya. Sedangkan 30% sisanya sudak merupakan koperasi non aktif. Selain itu jumlah modal dari modal sendiri dan modal bantuan, tidak terdapat selisih yang jauh, yang artinya adalah koperasi pada saat ini dapat dikatakan bergantung terhadap dana bantuan baik dari pemerintah maupun dari instansi luar koperasi. Jika dilihat pada jumlah anggota memang terlihat bahwa anggota koperasi mempunyai angka yang sangat besar. Hal ini merupakan hal yang sangat baik apabila seluruh anggota koperasi ini menjalankan keanggotaannya berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Namun hal ini dapat menjadi boomerang negatif apabila jumlah ini hanya formalitas artinya banyak anggota yang hanya menyertakan nama tanpa mengetahui sistem koperasi yang sebenarnya. Jumlah koperasi di tahun 2014 mengalami penurunan yang cukup drastis dibandingkan dengan jumlah total koperasi di tahun 2013. Hampir sebanyak 3000 koperasi yang membubarkan diri. Jumlah tersebut bukan merupakan jumlah yang sedikit dan jika hal tersebut terjadi setiap tahun tidak menutup kemungkinan pada kurun waktu 10 atau 15 tahun mendatang koperasi hanya tinggal nama dan sejarah saja. Kondisi perkoperasian di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih stagnan bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran. Perlu perhatian lebih agar koperasi dapat mengalami perkembangan dan tidak stagnan
CONTOH STUDI KASUS KOPERASI

 Kasus Koperasi KarangAsam Membangun. Polda Bali Menutup Koperasi KaangAsam Membagun (KKM) yang teridentifikasi mempraktikan penggandaan uang (Money Game). Selain itu, polisi menahan ketua KKM I Gede Putu Kertia. Sadisnya, Kertia yang juga Dirut PDAM KarangAsam langsung di pecat. nasib serupa juga dialami Nemgah Wijanegara yang menjadi Dirut KKM. hingga kini memang belum ada nasabah koperasi tersebut yang merasa dirugikan. Namun dari penyidikan petugas, KKM diduga menggandakan uang mirip Multilevel Marketing (MLM) dengan menggunakan sistem piramida anggota yang mendaftar lebih awal dibayar dari setoran nasabah berikutnya. Jika keanggotaan berhaenti dipstikan akan terjadi gejolak. Sebab uang yang berhasil dikupulkan KKM dari masyarakat mencapai ratusan miliar rupiah. Selain menahan dua tersangka, polisi memblokir uang nasabah di dua Bank dengan total Rp 282 milliar. Uang sebanyak itu selama ini disimpan di Bank BNI dan Bank BPD. Petugas juga menyita uang sebesar Rp 115 Miliar di brankas dan 3kg perhiasan emas. semua didapat dari kantor pusat KKM. Bisnis yang dilakoni KKM hanya menirama simpanan dari masyarakat. memang ada bisnis jual sembako, perhiasan dan lain - lain. Tapi itu dirasa tidak bisa mencukupi pembayaran bunga yang hampir mencapai 150 persen. Polisi juga menemukan adanya bisnis aneh, KKM yang berdiri pada 28 Maret 2006 mengharuskan anggota menyetor 50jt. janjinya bisa mendapatkan mobil yang harganya dua kali lipat dari uang setoran pertama. begitu juga bila menyetor ung sebesar Rp 5jt dalam hitungan 6 bulan, nasabah bisa mnedapatkan sepeda motor yang diinginkan. janji itu sngat mustahil. Bunga Bank saja ada di kisaran lima persen setahun. depositopun tidak bisa mencapai perkembangan nominal yang sefantastik itu. Karena belum ada masyarakat yang melaporkan kasus tersebut kearah penipuan, Kapolda merujuk pasal 16 Undang - Undang Peerbankan. Lembaga nonbank tidak boleh menerima penyertaan dari masyarakat tanpa izin dari Bank Indonesia (BI).  Ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 15 Milliar. Polda sudah memprediksi bahwa penuntutan itu akan muncul gejolak di kalangan nasabah, apalagi anggotanya sudah mencapai puluhan ribu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar